



elakangan ini, di tengah kalangan muda Jakarta, nama shisha bukanlah sesuatu yang asing di telinga. Istilah tersebut merujuk pada gaya hidup baru yang menjamur di beberapa restoran dan kafe di Jakarta.
Shisha kerap disebut rokok arab, karena memang berasal dari negara-negara di kawasan Timur Tengah. Memang betul, meski tak seperti rokok umumnya, shisha pada intinya mirip dengan rokok. Bahan bakunya dari tembakau, namun untuk mengisapnya, si penikmat harus menggunakan alat khusus bernama bong. Yang berbeda dengan rokok, penikmatnya bisa mendapatkan sensasi berbeda karena asap yang diisap tersedia dalam beragam aroma, dari buah-buahan hingga bebungaan.
Kehadiran shisha di Jakarta dan sekitarnya sebenarnya sudah cukup lama. Namun, dulu hanya tersedia di berbagai restoran yang khusus menyediakan masakan ala Timur Tengah, sehingga penikmatnya pun masih terbatas pada mereka yang berdarah Arab atau memang gemar bersantap di restoran macam itu.
Selain itu, shisha juga tersedia di beberapa kafe elite di berbagai hotel. Hanya kalangan berduit yang mampu menikmatinya. Tak heran jika shisha pun kurang populer.
Anak Gaul Jakarta
Pada sekitar 2004 shisha mulai menjadi sebuah gaya hidup baru di kalangan masyarakat urban Jakarta. Salah satu restoran yang menjadi pioner dalam memperkenalkannya ke tengah masyarakat adalah Little Baghdad, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Saat pertama kali membuka restoran pada 2003, sang pengelola tidak berniat menjadikan shisha sebagai jualan utamanya. Yang menjadi prioritas adalah makanan ala Timur Tengah yang disajikan di tengah kawasan Kemang yang heterogen.
"Waktu buka pertama kali, kami memang lebih fokus kepada masakan Timur Tengah. Shisha ada, tapi hanya menjadi pelengkap. Lama kelamaan, situasi berbeda. Lebih banyak yang gemar shisha. Akhirnya, kami mengubah konsep. Shisha-lah yang dijadikan fokus," tutur Ragil, supervisor Little Baghdad.
Merebaknya shisha sebagai gaya hidup menarik pengunjung ke restoran tersebut. Alhasil, jangan harap bisa mendapatkan tempat pada akhir pekan tanpa reservasi terlebih dulu. Pasalnya, restoran itu bisa dipastikan akan sangat penuh dengan penikmat shisha. Apalagi, mereka selalu menikmati sambil mengobrol dan bersenda-gurau. Sulit memastikan lama waktu menunggu untuk mendapatkan tempat kosong.
Umumnya yang datang adalah anak muda yang datang berombongan. Namun, di hari-hari biasa, banyak juga pekerja yang datang melepas lelah dan berkumpul bersama teman-temannya. Dengan harga Rp 35 ribu per bong, shisha bisa dinikmati sekitar 1-2 jam. Satu bong shisha dapat dinikmati beramai- ramai asalkan sebelumnya meminta alat pengisap dari plastik sesuai jumlah orang.
"Bahkan, sering juga anak muda yang datang lebih dari lima orang, namun hanya memesan satu bong shisha dan air mineral. Lalu nongkrong-nya lama banget," kata Ragil.
Little Baghdad bukanlah satu-satunya restoran penyedia shisha di kawasan Kemang. Masih ada sedikitnya dua lagi, salah satunya bernama Warung Baba. Suasananya tak jauh berbeda dengan Little Baghdad. Yang nongkrong umumnya masih muda dan berpenampilan ala "Agata", anak gaul Jakarta.
Bedanya, Warung Baba menyediakan menu yang lebih variatif, tak hanya berkisar pada menu Timur Tengah. Mulai dari masakan Indonesia seperti soto hingga masakan Cina seperti dim sum, semua ada. Lokasinya pun relatif tak sepadat Little Baghdad yang berlokasi di jalan satu arah yang cukup sempit. Warung Baba terletak di Jalan Kemang Raya yang strategis dan ramai. Selain itu, ada gerai ramal dengan kartu tarot yang bisa menjadi alternatif hiburan di kala mengantre tempat di situ.
Agak menjauh sedikit dari Kemang, bisa menemukan Shisha Café di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan. Di tempat itu, shisha bisa dinikmati sambil duduk di tengah suasana ala hikayat 1001 malam. Makanan yang dihadirkan tak berbeda jauh dengan Little Baghdad, yakni masakan ala Timur Tengah.
"Enggak Gaul"
Meski dinamakan rokok Arab, apakah penikmat shisha perokok dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya ternyata tidak selalu. Banyak yang menikmati shisha hanya sebagai sebuah gaya hidup, tidak lebih. Apalagi, jika dilakukan sambil nongkrong bersama teman-teman atau sendirian di kala stres melanda.
Itulah yang diakui Roni (28), humas di sebuah perusahaan swasta. Dalam kehidupan sehari-hari, ia bukan perokok. Ia mengenal shisha dari pergaulan rekan-rekan sekantornya.
"Awalnya sih saya memang batuk-batuk hebat karena tidak terbiasa merokok. Namun, lama kelamaan asyik juga. Apalagi ada rasa buah-buahannya, enggak seperti rokok yang hanya asap thok," ujarnya.
Karena itu, ia menganggap shisha sebagai bagian dari gaya hidup, bukan sesuatu yang bisa menjadikannya pecandu. Kalau sedang iseng, bersama teman-temannya Roni akan menyambangi beberapa lokasi shisha di kawasan Kemang. Kalau tidak punya teman, ia tak akan memaksakan diri.
"Bagi saya, shisha itu seperti layaknya nongkrong di kafé atau main bowling misalnya. Hanya sebagai bagian dari gaya hidup dan untuk bersosialisasi dengan teman-teman. Kalau bela-belain ke Kemang sendirian hanya untuk shisha, ogah banget deh. Macet bo!" lanjutnya, tertawa.
Pengakuan berbeda dilontarkan Tiara (24). Mahasiswi pascasarjana di sebuah universitas di Jakarta ini mengaku shisha justru membantunya dalam proses perampungan berbagai tugas-tugasnya sebagai seorang mahasiswi. Kalau tugas menumpuk dan dilanda stres, restoran penyedia shisha-lah yang ditujunya.
"Entah kenapa, mengisapnya membuat kepala dan pikiran saya jadi lebih enteng. Kalau sudah begitu, berbagai ide untuk tugas-tugas kampus pun datang dengan sendirinya. Kadang, saya juga datang dengan beberapa teman kampus untuk nongkrong sambil berdiskusi tentang tugas-tugas kuliah," tuturnya.
Bahkan, ia mengaku pernah melobi dosen pembimbingnya saat menyelesaikan skripsi untuk gelar sarjananya tahun lalu. "Maklum, dosen pembimbing saya masih muda dan funky. Jadi asyik-asyik saja diajak nongkrong sambil ngisep shisha," kisahnya sambil tersenyum.
Namun, umumnya shisha memang dinikmati oleh mereka yang tak mau ketinggalan gaya hidup terbaru. Seperti Luki (19), misalnya. Mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jakarta itu mengaku datang ke restoran penyedia shisha karena diajak teman-temannya. Bukan sebuah kendala bagi Luki untuk langsung menyukainya, karena pemuda berkepala plontos itu perokok berat.
"Tapi saya enggak nyandu shisha kok. Karena tempat-tempat yang ada shisha-nya bersuasana enak dan nyaman, saya dan teman-teman jadi betah nongkrong di situ. Lagi pula harganya juga enggak terlalu mahal. Yah, ganti-ganti sajalah dengan nongkrong di tempat lain," ujarnya.
Ia tak memungkiri jika tren shisha berakhir, bisa jadi dia akan mencari tempat nongkrong baru yang tentunya lebih hip dan trendi. "Bagi saya, shisha hanya sekadar tren. Sekarang pun saya datang karena teman-teman. Yang penting tahu dan bisa nyambung kalau diajak ngomong tentang shisha karena kalau enggak tahu, rasanya enggak gaul banget deh," kata Luki. [Pembaruan/Irawati Diah Astuti]